Bolehkah istri tetap bertahan?
Menghormati dan mentaati suami adalah wajib bagi istri, menjalankan semua kewajibannya terhadap hak suami bahkan sangat besar, tapi bagaimana jika ibadah suami saja bolong-bolong tapi istri dipaksa mematuhinya?
Bahagia rasanya saat akad nikah terucap, saat semarak walimatul ‘urs menggema, saat tali pernikahan terikat.
Saat itu telah halal cinta dua orang insan, saling mengisi dan saling melengkapi setiap harinya.
Saat itu pula masing-masing pasangan akan memiliki tugas dan kewajiban baru dalam kehidupan mereka.
Sang suami memiliki hak yang harus ditunaikan istrinya, dan sang istripun mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh suaminya.
Alangkah bahagianya jika masing-masing secara seimbang senantiasa berupaya menunaikan kewajibannya.
Duhai saudariku, kini aku bertanya padamu… bukankah indah rasanya jika seorang istri mematuhi suaminya, kemudian ia senantiasa menjadi penyejuk mata bagi suaminya, menjaga lisan dari menyebarkan rahasia suaminya, lalu menjaga harta dan anak-anak suami ketika ia pergi?
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidak ada perkara yang lebih bagus bagi seorang mukmin setelah bertakwa kepada Allah daripada istri yang shalihah, bila ia menyuruhnya maka ia menaatinya, bila memandangnya membuat hati senang, bila bersumpah (agar istrinya melakukan sesuatu), maka ia melakukannya dengan baik, dan bila ia pergi maka ia dengan tulus menjaga diri dan hartanya.” (HR. Ibnu Majah)
Sehingga… kehidupan rumah tangga pun akan berjalan penuh dengan kemesraan dan kebahagiaan.
Yang satu menjadi tempat berbagi bagi yang lain, saling menasehati dalam ketakwaan, dan saling menetapi dalam kesabaran.
Ini Saatnya Mematuhi Perintah Suami
Diantara ciri seorang istri sholihah adalah mematuhi perintah suaminya.
Yang dimaksud mematuhi perintah adalah mematuhi dalam hal yang mubah dan disyari’atkan.
Jika dalam perkara yang disyari’atkan, tentu hal ini tidak perlu dipertanyakan lagi hukumnya, karena perkara yang demikian adalah hal-hal yang Allah perintahkan kepada para hamba-Nya, seperti kewajiban sholat, berpuasa di bulan Ramadhan, memakai jilbab, dan lain-lain.
Maka untuk hal ini, seorang hamba tidak boleh meninggalkannya karena meninggalkan perintah Allah Ta’ala adalah sebuah dosa.
Sedangkan dalam perkara yang mubah, jika suami memerintahkan kita untuk melakukannya maka kita harus melaksanakannya sebagai bentuk ketaatan kepada suami.
Contohnya suami menyuruh sang istri rajin membersihkan rumah, berusaha mengatur keuangan keluarga dengan baik, selalu bangun tidur awal waktu, membantu pekerjaan suami, dan hal-hal lain yang diperbolehkan dalam syari’at Islam.
Ada Saatnya Menolak Perintah Suami
Jika dalam hal yang disyari’atkan dan yang mubah kita wajib mematuhi suami, maka lain halnya jika suami menyuruh kepada istri untuk melakukan kemaksiatan dan menerjang aturan-aturan Allah.
Untuk yang satu ini kita tidak boleh mematuhinya meskipun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
“Kalau sekiranya aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain maka akan aku perintahkan seorang wanita untuk sujud kepada suaminya.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Kita tidak boleh tunduk pada suami yang memerintah kepada kemaksiatan meskipun hati kita begitu cinta dan sayangnya kepada suami.
Jika kewajiban patuh pada suami sangatlah besar, maka apalagi kewajiban mematuhi Allah, tentu lebih besar lagi.
Allahlah yang menciptakan kita dan suami kita, kemudian mengikat tali cinta diantara sang istri dan suaminya.
Namun perlu diketahui, bukan berarti kita harus marah-marah dan bersikap keras kepada suami jika ia memerintahkan suatu kemaksiatan kepada kita, tetapi cobalah untuk menasehatinya dan berbicara dengan lemah lembut, siapa tahu suami tidak sadar akan kesalahannya atau sedang perlu dinasehati, karena perkataan yang baik adalah sedekah.
Nah bagaimana jika suami sholatnya bolong-bolong tetapi memaksa istri untuk mematuhinya?
Adapun orang yang terkadang shalat dan terkadang tidak, maka kami memandang dalam masalah ini yang rajih (kuat) orang tersebut tidak kafir.
Namun ia telah melakukan dosa yang besar, tetapi tidak sampai kafir.
Sebagaimana dalam hadits Nashr bin Ashim dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengenai kisah salah seorang lelaki dari kaumnya, diriwayatkan dalam Al Musnad dan ini hal yang ma’ruf.
maka mereka berpendapat tidak boleh sama sekali suami/istri bertahan dengan istri/suami yang meninggalkan shalat.
Maka istri yang ingin mengambil keputusan hendaknya memperhatikan perincian ini.
Namun bagaimana jika suami menyuruh menghiraukan ibu kandung dari istri ?
Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa suami boleh melarang istri untuk mengunjungi atau menjenguk kedua orang tuanya.
Misalnya kita bisa melihat dalam keterangan dalam kitab Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Khathib yang ditulis oleh Sulaiman al-Bujairimi.
وَلِلزَّوْجِ مَنْعُ زَوْجَتِهِ مِنْ عِيَادَةِ أَبَوَيْهَا وَمِنْ شُهُودِ جِنَازَتِهِمَا وَجِنَازَةِ وَلَدِهَا وَالْأَوْلَى اَنْ لَا يَفْعَلَ
Namun ada pendapat ulama yang berkebalikan dengan pendapat di atas.
Menurut Ibnu Nujaim (salah seorang ulama dari kalangan Madzhab Hanafi) cenderung membolehkan seorang istri menjenguk kedua orang tuanya meskipun tidak diizinkan suaminya.
Dengan kata lain, apabila suami melarang istrinya untuk tidak mengunjungi kedua orang tuanya, dalam hal ini istri boleh tidak menaati permintaan suaminya.
Sebelum sampai pada simpulan tersebut Ibnu Nujaim mengetengahkan keterangan yang terdapat dalam kitab Fathul Qadir yang ditulis Kamal Ibnu Hamam.
Dalam kitab tersebut dikatakan, seandainya bapaknya istri baik orang muslim maupun kafir mengalami sakit kronis dan membutuhkan bantuannya sementara suami melarang isterinya untuk menjenguk bapaknya, istri boleh membangkang larangan tersebut.
وَلَوْ كَانَ أَبُوهَا زَمِنًا مَثَلًا وَهُوَ يَحْتَاجُ إلَى خِدْمَتِهَا وَالزَّوْجُ يَمْنَعُهَا مِنْ تَعَاهُدِهِ عَلَيْهَا أَنْ تَعْصِيَهُ مُسْلِمًا كَانَ الْأَبُ أَوْ كَافِرًا ، كَذَا فِي فَتْحِ الْقَدِيرِ
Dari penjelasan Kamal Ibnu Hamam itu, Ibnu Nujaim menarik sebuah simpulan bahwa diperbolehkan bagi seorang istri keluar dari rumah untuk menjenguk kedua orang tua dan mahramnya.
Pendapat sahih yang dijadikan fatwa adalah ia boleh keluar setiap hari Jumat untuk menjenguk kedua orang tua dan mahramnya dengan atau tanpa izin suami. Sedang selain itu ia harus meminta izin suami.
Baca juga :
Saudariku, berikut ini beberapa contoh perintah suami yang tidak boleh kita taati karena bertentangan dengan perintah Allah:
1. Menyuruh Kepada Kesyirikan
Tidak layak bagi kita untuk menaati suami yang memerintah untuk melakukan kesyirikan seperti menyuruh istri pergi ke dukun, menyuruh mengalungkan jimat pada anaknya, ngalap berkah di kuburan, bermain zodiak, dan lain-lain.
Ketahuilah saudariku, syirik adalah dosa yang paling besar. Syirik merupakan kezholiman yang paling besar (lihat QS Luqman: 13).
Bagaimana bisa seorang hamba menyekutukan Allah sedang Allah-lah yang telah menciptakan dan memberi berbagai nikmat kepadanya? Sungguh merupakan sebuah penghianatan yang sangat besar!
2. Memerintah untuk Melepas Jilbab
Menutup aurat adalah kewajiban setiap muslimah. Ketika suami memerintahkan istri untuk melepas jilbabnya, maka hal ini tidak boleh dipatuhi dengan alasan apapun.
Misalnya sang suami menyuruh istri untuk melepaskan jilbabnya agar mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lumayan, hal ini tentu tidak boleh dipatuhi.
Bekerja diperbolehkan bagi muslimah (jika dibutuhkan) dengan syarat lingkungan kerja yang aman dari ikhtilat (campur baur dengan laki-laki) dan kemaksiatan, tidak khawatir timbulnya fitnah, serta tidak melalaikan dari kewajibannya sebagai istri yaitu melayani suami dan mendidik anak-anak.
Dan tetap berada di rumahnya adalah lebih utama bagi wanita (Lihat QS Al-Ahzab: 33). Allah telah memerintahkan muslimah berjilbab sebagaimana dalam QS Al-Ahzab: 59.
Perintah Allah tidaklah pantas untuk dilanggar, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta.
3. Mendatangi Istri Ketika Haidh atau dari Dubur
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “…dan persetubuhan salah seorang kalian (dengan istrinya) adalah sedekah.” (HR. Muslim)
Begitu luasnya rahmat Allah hingga menjadikan hubungan suami istri sebagai sebuah sedekah.
Berhubungan suami istri boleh dilakukan dengan cara dan bentuk apapun.
Walaupun begitu, Islam pun memiliki rambu-rambu yang harus dipatuhi, yaitu suami tidak boleh mendatangi istrinya dari arah dubur, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“(Boleh) dari arah depan atau arah belakang, asalkan di farji (kemaluan).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka ketika suami mengajak istri bers3tubuh lewat dubur, hendaknya sang istri menolak dan menasehatinya dengan cara yang hikmah
Termasuk hal yang juga tidak diperbolehkan dalam berhubungan suami istri adalah bers3tubuh ketika istri sedang haid.
Maka perintah mengajak kepada hal ini pun harus kita langgar. Hal ini senada dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menjima’ istrinya yang sedang dalam keadaan haid atau menjima’ duburnya, maka sesungguhnya ia telah kufur kepada Muhammad.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ad-Darimi dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)